Kelapa sawit (Elaeis guinensis J.) termasuk kedalam famili Arecaceae yang menghasilkan minyak nabati dan dapat dikonsumsi (edible oil). Saat ini, kelapa sawit sangat diminati untuk dibudidayakan. Daya tarik penanaman kelapa sawit masih merupakan andalan sumber minyak nabati dan bahan agroindustri. Peningkatan luas perkebunan kelapa sawit selain karena keterbatasan lahan yang tersedia juga karena adanya serangan dari organisme pengganggu tanaman (OPT), khususnya hama. Kelapa sawit dapat diserang oleh berbagai hama dan penyakit tanaman sejak di pembibitan hingga di kebun pertanaman. Meningkatnya pemakaian lahan secara besar-besaran untuk penanaman kelapa sawit menambah jumlah lahan monokultur yang menguntungkan bagi keberadaan organisme pengganggu tanaman seperti serangga hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros L.) sebagai hama utama yang menyerang kelapa sawit.
Serangga hama Oryctes rhinoceros kerap kali dikenal dengan nama lokal kumbang tanduk/kumbang badak/kumbang penggerek pucuk kelapa. Populasi dari serangga hama kumbang tanduk ini tinggi karena pakan terus menerus tersedia sehingga menunjang keberlangsungan hidup hama. Serangan yang disebabkan kumbang tanduk membahayakan bagi tanaman belum menghasilkan (TBM) karena jika sampai mengenai titik tumbuhnya maka akan muncul penyakit yang disebabkan karena infeksi melalui luka terbuka pada tanaman dan kemungkinan terburuknya dapat menyebabkan kematian. Kumbang tanduk dominan menimbulkan kerusakan pada areal TBM dibandingkan TM. Imago (dewasa) kumbang tanduk menggerek pada titik tumbuh (pupus) dengan membuat lubang pada pangkal pelepah daun muda yang masih memiliki tekstur lunak.
Kumbang tanduk dengan stadia imago lah yang berperan menjadi hama karena memakan tajuk tanaman dengan menggerek melalui pangkal menuju ke dalam titik tumbuh tanaman sehingga terbentuk kumpulan serat dari bekas gerekannya. Serangan tersebut akan memperlihatkan gejala berupa pelepah dengan bentuk huruf ‘V’ terbalik. Kondisi ini dapat berlangsung selama kurang lebih 6-9 bulan sesuai umur kumbang tanduk. Kumbang tanduk memiliki kemampuan untuk berpindah dari tanaman kelapa sawit yang satu ke yang lain setiap 4-5 hari sehingga kemampuan merusak dari satu ekor kumbang tanduk hingga 6-7 pohon/bulan. Apabila terjadi serangan ulangan, tanaman menjadi rentan untuk terserang serangga hama kumbang garis merah (Rhynchophorus bilineatus M.), terpuntirnya titik tumbuh yang menyebabkan tanaman tumbuh dengan tidak baik, bahkan kematian pada tanaman.
Tergolong ke dalam ordo Coleoptera, family Scarabidae, dan subfamily Dynastinae, siklus hidup kumbang tanduk variatif tergantung kondisi lingkungan. Kondisi habitat yang optimal bagi perkembangan larva adalah 27°C-29°C dengan kelembaban 85%-95%. Kondisi habitat yang optimal juga akan berpengaruh pada lama siklus hidup dari kumbang tanduk. Kumbang tanduk betina dapat memproduksi telur hingga 70 butir telur dalam satu siklus hidupnya. Hal tersebut dapat membuat keberadaan hama ini di lokasi perkebunan akan semakin meningkat dan dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan tanaman kelapa sawit yang lebih besar. Serangan kumbang tanduk pada perkebunan apabila tidak dikendalikan secara terpadu / PHT (Pengendalian Hama Terpadu / Integrated Pest Management), maka akan memberikan hasil yang tidak optimal. Perlu diketahui secara baik juga siklus hidupnya untuk pengendalian yang lebih efektif.
Pengendalian secara hayati merupakan opsi pertama yang dapat diterapkan untuk mengendalikan populasi dari serangga hama kumbang tanduk secara terpadu. Pengendalian hama dapat diawali dengan melakukan monitoring pada areal perkebunan secara berkala guna mengetahui keberadaan serangga hama, kepadatan populasi, dan risiko serangan yang akan terjadi. Monitoring dapat dilaksanakan dengan menyesuaikan kondisi perkebunan yang ada. Apabila hasil dari monitoring sudah menunjukkan keberadaan dari hama dan populasinya sudah dapat mengancam kerusakan hamper mendekati ambang batas ekonomi, maka dapat dilakukan pengendalian populasi hama.
Salah satu pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan feromon seks. Feromon, berasal dari bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’. Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan/atau untuk membantu proses reproduksi. Pengendalian menggunakan feromon ini bertujuan untuk mengganggu proses perkawinan (mating disruption) sehingga, dapat menggagalkan proses reproduksi serangga hama yang ditargetkan. Pengendalian dengan metode ini dapat menurunkan populasi hama dengan lebih ramah lingkungan dan mengurangi biaya oprasional kebun.
by Praditya Rizqi